Rabu, 02 September 2009

KATEGORISASI DAN KESELARASAN

Suatu ketiga sahabat saya Kamaruddin Dg Nuntung menulis dalam statusnya di facebook bahwa "Kemiskinan itu hanyalah sebuah Kategorisasi". Karena tertarik dengan pemaknaan dari kalimat ini, saya kemudian berusaha mencari-cari referensi untuk memaknai lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pengkategorisasian ini. Saya tidak lagi menjelajahi referensi-referensi yang menjelaskan tentang kemiskinan itu sendiri, karena sejak kuliah di awal tahun 1989, saya telah direcoki berbagai teori-teori perubahan sosial, mulai dari Paradigma Fungsionalis, Paradigma Interpretatif, Paradigma Humanis Radikal sampai pada Paradigma Struktural Radikal, yang didalamnya membahas tentang berbagai simulasi tentang perubahan social dan kemiskinan.

Nassim Nicholas Taleb (2009) menjelaskan tentang ini dengan sangat baik, menurutnya Kategorisasi selalu mereduksi kompleksitas yang sesungguhnya. Kategorisasi memang perlu untuk manusia, tetapi menjadi penyebab penyakit ketika dipandang sebagai sesuatu yang defenitif, yang mencegah orang memandang perbatasan sebagai sesuatu yang kabur, terlebih kemungkinan mengubah kategori.

Kategorisasi merupakan suatu keniscayaan, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kategorisasi sudah ada sejak manusia diciptakan. Laki-laki (Adam as) dan Perempuan (Hawa as) adalah bentuk kategorisasi yang mula-mula ada. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara kita memaknai kategorisasi ini menjadi sebuah kata yang bersifat netral, bukan sebuah kata yang memperlawankan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dengan kata lain bahwa kategorisasi itu harus dilihat sebagai sebuah cara untuk menyelaraskan berbagai hal yang ada dan bukan mempertentangkannya.

Memang terdapat masalah besar dalam pemaknaan terhadap kategorisasi ini, hal ini telah berulangkali disimulasikan dalam sejarah manusia. Ketika Hitler membuat kategorisasi Ras Aria dan Ras Non Aria, dampaknya adalah terjadinya perang dunia II, pembasmian etnis yahudi, penindasan terhadap HAM di seluruh Eropa pada saat itu. Pada saat Karl Marx mengkategorisasikan Kelas Borjuis dan Kelas Pekerja dan melahirkan "theory of surplus value" hal ini menjadi pemicu revolusi sosial komunis. Dan pada saat saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang bermukim di Maluku mengidentifikasikan diri mereka dengan kategorisasi muslim (putih) dan non muslin (merah) dengan sangat ekstrim, maka hancur dan runtuhlah seluruh pranata-pranata sosial kemasyarakatan yang selama beratus-ratus tahun hidup dan berkembang secara damai dan selaras sebagai bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku yang disebut Pelagandong.

Apakah kategorisasi ini harus dihapuskan, tidak juga, karena kategorisasi adalah sebuah keniscayaan dalam kahidupan ini. Yang perlu dihindari adalah efek "penularan" terhadap sebuah pengkategorisasian yang ekstrim. Apabila Anda memilih seratus orang pengamat sosial berpikiran bebas yang mampu melihat faktor-faktor kemiskinan tanpa pengaruh dari sesama pengamat sosial yang lain, Anda akan memperoleh seratus pandangan yang berbeda. Namun proses (ekstrim) yang menjadikan orang-orang ini membuat pandangan tentang kemiskinan sama (seirama) menyebabkan dimensionalitas pandangan mereka menyusut secara luar biasa, dan mereka cenderung menyelaraskan pandangan-pandangan dan menggunakan apa pun yang sama menjadi pemicu (trigger). Dominasi pandangan dari seseorang atau sekelompok orang, dan yang biasanya kemudian dipaksakan pada komunitas yang lebih luas akan menimbulkan efek negatif dan kemudian diiringi penentangan. Kondisi ini yang memunculkan konflik dan pertentangan.

Intinya adalah bahwa kategorisasi bukanlah sebuah hal yang mengarahkan kita pada sebuah pertentangan abadi, namun menjadi sebuah acuan untuk menyelaraskan pola pandang kita dalam mencapai kemaslahatan bersama.

 

Makassar, 30 Agustus 2009

ZI


start: 2008-06-20 end: 0000-00-00
Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!

Jumat, 06 Maret 2009

KOMITMEN KEPALA DAERAH BAGI PENCIPTAAN GOOD GOVERNANCE

Pada Hari Jumat tanggal 6 Maret 2009, pukul 09.00 WITA bertempat di Ruang Pola Kantor Walikota Makassar, H. A. Herry Iskandar sebagai Walikota Makassar mengundang seluruh kepada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terdiri dari Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Kantor dan Camat selaku Pengguna Anggaran pada masing-masing SKPD. Pada acara ini juga dihadiri oleh Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa sebanyak 62 orang yang telah lulus sertifikasi nasional pengadaan barang dan jasa yang diselenggarakan oleh BAPPENAS. Mendampingi Walikota Makassar dalam acara ini adalah Sekretaris Daerah Kota Makassar, Asisten Bidang Pemerintahan, Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan dan Asisten Bidang Administrasi.

Mengapa acara ini begitu penting ? Acara pada hari ini bukan dalam rangkaian pembahasan teknis dalam rangkaian implementasi APBD Kota Makassar Tahun Anggaran 2009, namun lebih daripada itu pertemuan kali ini dimaksudkan untuk membuat komitmen bersama antara Walikota dengan seluruh aparat pemerintah daerah yang terkait dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa, agar dalam pelaksanaannya kemudian tidak ada KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang menyertainya.

Mungkin jika kita hanya sekilas memperhatikan awalan dari tulisan ini, akan terbersit dalam benak kita sebuah skeptisitas, bahwa forum ini hanya digunakan sebagai ajang popularitas belaka dari para petinggi pemerintah daerah. Namun bagi pegawai Pemerintah Kota Makassar yang sudah mengenal karakter psikologis dan leadership style H. A. Herry Iskandar, forum ini bukan sekedar acara yang dibuat main-main, akan tetapi lebih bermakna pada pertanggungjawaban moral dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.

Point penting yang ditegaskan oleh Walikota Makassar dalam pertemuan ini adalah pertama, menghilangkan segala jenis pengaturan pengadaan barang dan jasa yang menyalahi peraturan, utamanya yang bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Walikota menegaskan tidak boleh ada pengaturan-pengaturan untuk memenangkan pihak tertentu dalam pengadaan barang dan jasa, apalagi dengan membawa-bawa nama para pejabat pemerintah daerah. Walikota Makassar secara tegas menegaskan tidak ada "perintah" untuk mengatur pengadaan barang dan jasa, dan kalo ada pihak yang mengatasnamakan Walikota dan para pejabat pemerintah kota untuk itu, maka Kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran diminta untuk tidak melayani dan menanggapinya.

Kedua, Walikota meminta pejabat pengadaan barang dan jasa dan pejabat yang ditunjuk sebagai PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) berani menolak rekomendasi-rekomendasi tertulis maupun lisan dari pejabat ditingkat atasnya, yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku, dan pada kesempatan ini Walikota menegaskan bahwa dirinya tidak akan memberikan rekomendasi dalam bentuk apapun, dan mengharapkan seluruh pejabat pemerintah daerah juga mengikuti hal demikian.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam forum dimaksud di atas :

Pertama, lingkungan pemerintahan daerah yang telah berubah saat ini, mengharuskan setiap aparat pemerintah daerah untuk lebih transparan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang diamanatkan. Akuntabilitas publik (public accountability) harus menjadi acuan moral dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan.   

Kedua, komitmen moral dari pimpinan daerah dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan akan menjadi rujukan utama bagi seluruh aparat pemerintah daerah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dan kondisi ini akan berdampak pada peningkatan kualitas sistem dan prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan daerah.

Ketiga, komitmen moral yang mengalir dari atas ke bawah struktur organisasi pemerintahan daerah, akan memperkuat sistem pengawasan pelaksanaan kegiatan pemerintahan daerah, sehingga berbagai penyimpangan yang terjadi akan cepat terdeteksi, karena kesalahan-kesalahan itu bukan merupakan produk dari sebuah sistem, akan tetapi secara parsial merupakan suatu kelalaian atau kesengajaan personal. Sistem akuntabilitas pemerintahan yang kuat dibutuhkan untuk menghilangkan stereotype bahwa KKN yang umum terjadi dalam pemerintahan di Indonesia adalah KKN "berjamaah", dimana terjadinya KKN karena seluruh bagian sistem tidak dapat keluar dari "lingkaran sistem" itu sendiri.

Dalam berita Harian Kompas, 16 Januari 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, sumber korupsi dan kolusi yang masih belum banyak tersentuh adalah dalam hal pengadaan barang dan jasa untuk departemen, kementerian, dan lembaga negara di pusat dan daerah. Bentuk korupsi yang kerap terjadi adalah penggelembungan anggaran. Namun untuk lingkungan pemerintah daerah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan 127 kepala daerah, baik gubernur, walikota, maupun bupati, diperiksa karena terkait berbagai perkara, terutama korupsi.

Kebijakan Presiden ini menyiratkan bahwa perlu adanya kehati-hatian dalam pelaksanaan pemerintahan yang dijalankan kepala daerah beserta seluruh aparat pemerintah daerah. Tentunya yang perlu pula mendapatkan perhatian adalah standarisasi aturan main yang disepakati antara pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ini. Sehingga aparat pemerintah daerah yang secara moral tadi sudah berkeinginan untuk melaksanakan berbagai kegiatan secara transparan dan akuntabel, tidak terjebak dalam kesalahpahaman atas konsepsi peraturan yang berlaku.

Dalam implementasi pelaksanaan kegiatan pengadaan barang dan jasa ini, masih terdapat beberapa aturan yang tidak selaras antara satu dengan yang lainnya, hal ini cukup membingungkan aparat pemerintah daerah yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini, karena mereka takut terjebak dalam pola standarisasi pengawasan dan audit pemeriksaan yang tidak sama dari instansi pengawasan.

Dalam sistem pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan dalam lingkungan pemerintah daerah peraturan-peraturan yang dijadikan rujukan antara lain :

1.    Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

2.    Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

3.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

4.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Yang menjadi permasalahan adalah terdapat beberapa aturan-aturan dalam peraturan di atas yang belum selaras dan masih dipermasalahkan oleh instansi pengawasan dalam rangka audit pelaksanaan kegiatan barang dan jasa pada pemerintah daerah. Contoh adalah terminologi Pejabat Pembuat Komitmen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1a Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan bahwa "Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI)/Pemimpin Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pemilik pekerjaan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa".

Terminologi Pejabat Pembuat Komitmen ini tidak dikenal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dimana ketiga peraturan ini juga menjadi rujukan dalam sistem pengelolaan anggaran dan kegiatan pemerintah daerah, sehingga dalam pelaksanaannya sebahagian besar pemerintah daerah tidak menunjuk Pejabat Pembuat Komitmen sebagai salah satu komponen yang terlibat dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran dan kegiatan.

Terdapat beberapa alasan mengapa Pejabat Pembuat Komitmen ini tidak ditunjuk/diadakan oleh pemerintah daerah, antara lain :

1.    Rentang kendali kegiatan pengadaan barang dan jasa dalam lingkup pemerintah daerah, utamanya pemerintah kabupaten/kota relatif kecil, sehingga pengendalian dan jangkauan pengawasan kegiatan oleh Pengguna Anggaran (PA) yaitu Kepala SKPD tidak terlalu berat dan rumit. Berbeda jika kegiatan pengadaan barang dan jasa itu diadakan oleh Departemen atau LPND, dimana ruang lingkupnya seluruh Indonesia, dalam kondisi demikian pimpinan departemen atau LPND selaku Pengguna Anggaran tentunya perlu menunjuk Pejabat Pembuat Komitmen untuk membantunya dalam rangka pencapaian efektifitas kegiatan dikarenakan rentang kendali yang begitu luas;

2.    Dengan rentang kendali kegiatan yang kecil pada skala kabupaten/kota, akan sangat riskan jika dalam lingkup pemerintah daerah ditunjuk Pejabat Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen karena akan merancukan sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pengadaan barang dan jasa, disebabkan karena tugas pokok dan fungsi Pejabat Pengguna Anggaran yang dirujuk dalam sistem pengelolaan keuangan daerah adalah yang diatur dalam Pasal 10, Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sementara tugas pokok dan fungsi Pejabat Pembuat Komitmen merujuk pada Pasal 9 ayat (3), Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Salah satu hal yang sangat krusial adalah bahwa kedua pejabat ini diberikan kewenangan oleh peraturan untuk "mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan". Pertanyaannya adalah pada saat kapan Pejabat Pembuat Komitmen (dalam kondisi pelaksanaan kegiatan pemerintah daerah) dapat menggantikan Pejabat Pengguna Anggaran untuk mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain ? Tentunya pertanyaan ini agak sukar dijawab, karena praktis Pejabat Pengguna Anggaran tetap berada dalam lingkup wilayah kerjanya.

Dengan mencermati kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, maka tentunya peran instansi pengawasan vertikal (BPK dan BPKP) diharapkan perlu memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah secara lebih proporsional. Di satu sisi pemerintah daerah sudah punya komitmen moral untuk melaksanakan perbaikan terhadap sistem pengadaan barang dan jasa, akan tetapi disisi lain, berbagai peraturan yang mendukung pelaksanaan kegiatan itu, saling tidak konsisten dalam pencapaian tujuannya.



Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!

Minggu, 25 Januari 2009

PROSES RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

Menyusul keiinginan politik pemerintah pusat untuk semakin mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah, diikuti pula dengan dikeluarkannya kebijakan penataan struktur organisasi perangkat daerah kabupaten/kota dan propinsi. Diawali dengan diterbitkannya PP Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, pada tahapan ini seluruh organisasi perangkat daerah di Indonesia, baik pada tingkatan Kota/Kabupaten maupun pada tingkatan Propinsi mempunyai bentuk dan tatanan yang betul-betul baru dan berbeda dari sebelumnya, karena pada tahapan ini merupakan awal dimana terjadi integrasi antara organisasi pusat di daerah (vertikal/kanwil/kandep) dengan organisasi pemerintah daerah (dinas daerah), hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang tidak mengenal lagi dikotomi instansi vertikal dan dinas daerah dalam proses pelaksanaan pemerintahan daerah.

Konstruksi kelembagaan pemerintah daerah yang diadopsi dalam PP No. 84 Tahun 2000 didasarkan pada klasifikasi yang dikelompokkan ke dalam dua bentuk dasar, yaitu : a. Line structure, dan b. Staff structure. Unit lini (line structure) adalah unsur pelaksana pemerintah daerah yang memperoleh otoritas untuk menetapkan perumusan kebijakan (policy formulation) atau pelaksanaan kebijakan (policy application) atas bidang tugasnya dan unit yang melaksanakan tugas-tugas secara operasional, sedangkan unit staf (staff structure) adalah unit organisasi yang berfungsi memberi dukungan atau bantuan bagi pencapaian tujuan organisasi pemerintahan daerah.

Klasifikasi yang lebih lengkap dikemukakan Henry Mintzberg (dalam Robbins, 1994 : 304-305) yang mengelompokkan organisasi dalam lima bagian dasar sebagai berikut :

1.     The operating core. Para pegawai yang melaksanakan pekerjaan dasar yang berhubungan dengan produksi dari produk dan jasa.

2.     The strategic apex. Manajer tingkat puncak, yang diberi tanggung jawab keseluruhan untuk organisasi itu.

3.     The middle line. Para manajer yang menjadi penghubung operating core dengan strategic apex.

4.     The technostructure. Para analis yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan bentuk standarisasi tertentu dalam organisasi.

5.     The support staff. Orang-orang yang mengisi unit staf, yang memberi jasa pendukung tidak langsung kepada organisasi.

 

Konfigurasi pemerintah daerah dalam format baru ini dapat diklasifikasikan ke dalam elemen-elemen organisasi sebagai berikut :

1.   Kepala Daerah sebagai elemen strategic apex yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan organisasi, memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.

2.   Sekretaris Daerah sebagai elemen middle line yang memimpin Sekretariat Daerah dan yang menjadi penghubung operating core (unsur pelaksana pemerintah daerah) dengan strategic apex (pimpinan eksekutif).

3.   Sekretariat Daerah sebagai elemen support staff yang memberi dukungan pada unit-unit organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

4.   Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) sebagai elemen tecno structure melaksanakan dukungan internal bagi keseluruhan organisasi perangkat daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

5.   Dinas Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) sebagai elemen operating core yang melaksanakan pekerjaan dasar yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat (public services), pemberdayaan masyarakat (empowering) dan pembangunan ekonomi (economic development).

Dalam pengklasifikasian tersebut di atas kedudukan kecamatan dan kelurahan tidak tampak secara jelas, walaupun kecamatan dan kelurahan merupakan organisasi perangkat daerah. Kedudukan kecamatan dan kelurahan amat spesifik dibandingkan dengan organisasi perangkat daerah lainnya. Kecamatan dan kelurahan adalah wilayah kerja perangkat daerah kabupaten/kota. Kedudukan kecamatan dan Kelurahan adalah wilayah kerja (werecring) daerah otonom, yang menyelenggarakan urusan daerah otonom kabupaten/kota yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

Secara teknis proses penyusunan Struktur Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan konstruksi di atas dapat dilaksanakan, dan yang hanya mendapat kendala adalah proses-proses pembahasan pada tingkatan politik di DPRD. Kendala-kendala yang dihadapi adalah karena adanya cara pandang yang berbeda antara eksekutif (Tim Penyusun Kelembagaan) dengan legislatif (DPRD) dalam peletakan kewenangan-kewenangan pada masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), walaupun pedoman tentang kewenangan pemerintah daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, namun lobby-lobby politik tetap dilakukan beberapa SKPD melalui DPRD, utamanya terhadap SKPD-SKPD penggabungan antara instansi vertikal/kandep dengan dinas daerah.

Dalam PP No 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, tidak ada pembatasan dalam jumlah dan besaran struktur organisasi pemerintah daerah, sehingga konstruksi kelembagaan pemerintah daerah yang dibuat cenderung terjadi pembengkakan struktur (proliferasi). Dalam Pasal 2, PP No. 84 Tahun 2000 hanya menetapkan syarat bahwa Organisasi Perangkat Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan :

a.   kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh Daerah;

b.   karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah;

c.   kemampuan keuangan Daerah;

d.   ketersediaan sumber daya aparatur;

e.   pengembangan pola kerjasama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga.

Pembatasan besaran Struktur Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan syarat-syarat kualitatif semacam ini memberikan peluang pada daerah-daerah untuk membuat ukuran besaran organisasi berdasarkan persepsi masing-masing, dan yang terjadi pada sebahagian besar pemerintah daerah adalah membengkaknya jumlah SKPD-SKPD dalam pemerintah daerah membuat sebahagian besar alokasi dana APBD daerah tersedot pada biaya operasional dan pegawai pada seluruh SKPD daerah.

Walaupun masih banyak daerah yang belum merasionalisasikan struktur organisasinya berdasarkan PP No. 84 Tahun 2000 ini (pada saat penerapan PP ini), namun sudah terdapat kemajuan-kemajuan berarti dalam implementasi struktur organisasi pada proses penyelenggaraan pemerintahan daerah, antara lain :

Pertama, Dikotomi penyelenggaraan pemerintahan daerah antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sudah dapat dihilangkan, karena adanya penyatuan kewenangan, tugas pokok dan fungsi dalam satu wadah perangkat daerah.

Kedua, Struktur Organisasi Perangkat Daerah (Dinas, Badan, Kantor) sudah dapat disusun secara rasional berdasarkan karakteristik dan potensi daerah, sehingga pola-pola struktur organisasi pemerintah daerah akan berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya, keuntungan yang didapat adalah terjadinya fleksibilitas struktur organisasi untuk menanggapi tuntutan masyarakat akan pelayanan publik. Kondisi demikian tidak akan ditemui sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 84 Tahun 2000, dimana seluruh bentuk-bentuk struktur organisasi pemerintah daerah (dinas daerah) polanya telah diatur seragam untuk keseluruhan pemerintah daerah secara mutatis mutandis melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pola semacam ini membuat struktur organisasi pemerintah daerah bersifat kaku (rigid) karena model struktur organisasi itu, belum tentu selaras dengan kebutuhan pelayanan publik di daerah yang sangat beragam. 

Ketiga, Konstruksi struktur organisasi perangat daerah dalam PP No. 84 Tahun 2000, telah mengatur pemisahan yang tegas antara organisasi yang menangani fungsi-fungsi teknis pelayanan publik dan perizinan yang diwadahi melalui dinas daerah dan organisasi yang melaksanakan proses pelayanan internal dan dukungan kebijakan tertentu bagi proses penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Keempat, Dalam format kelembagaan PP No. 84 Tahun 2000, telah diatu pola organisasi setingkat Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) setingkat eselon IV, yang berada di bawah dinas daerah. Bentuk organisasi semacam UPTD ini memungkinkan pemerintah daerah mengatur urusan-urusan yang bersifat operasional, dimana urusan-urusan semacam ini dalam pola kelembagaan yang lama tidak dapat diakomodir secara lebih leluasa karenanya urusan ini dimasukkan ke dalam tugas pokok dan fungsi pada seksi atau sub dinas yang sifatnya administratif. Kelemahannya adalah fungsi-fungsi itu tidak akan berjalan secara optimal karena akan mengalami gesekan (split) dan tumpang tindih (overlapping) dengan fungsi-fungsi administratif.  Contohnya (untuk kasus Pemkot Makassar), sebelum diberlakukannya PP No. 84 Tahun 2000, pada Dinas Kebersihan Kota Makassar, urusan-urusan yang berkaitan dengan drainase, selokan, taman kota, lapangan, tempat pembuangan sampah akhir (TPA) seluruhnya berada penanganannya pada sub dinas dan seksi, secara teknis dalam menjalankan fungsi-fungsi ini dapat dilakukan, namun efektivitas pelaksanaannya di lapangan sangat jauh dari optimal, hal ini disebabkan karena ada benturan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi ini, di satu sisi sub dinas dan seksi dirancang untuk melaksanakan fungsi-fungsi administratif dan teknis, akan tetapi di sisi lain stuktur lini ini dibebani fungsi-fungsi operasional yang mengharuskan penanganannya di lapangan (di luar kantor) dengan disertai pengaturan peralatan dan personil. Dengan konstruksi kelembagaan UPTD, urusan-urusan yang bersifat operasional ini dilembagakan menjadi UPTD Drainase dan Selokan, UPTD Taman dan Lapangan, UPTD TPA Tamangapa dan beberapa UPTD sejenis yang melaksanakan urusan-urusan operasional. Implementasi pelaksanaan model UPTD ini cukup berhasil dalam melaksanakan fungsi-fungsi yang mereka emban, karena dalam operasionalisasi pelaksanaan difokuskan pada tugas-tugas yang bersifat spesifik.

Kelima, Dalam format PP No. 84 Tahun 2000, sudah memberikan peluang yang sangat besar bagi pengembangan kompetensi-kompetensi fungsional, hal ini diakomodir dalam "Kelompok Jabatan Fungsional" yang didasarkan pada Keputusan Presiden No 87 tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional. Jabatan-jabatan fungsional yang telah umum dikenal yaitu guru, dokter, paramedis, auditor, widyaiswara, mutlak ada pada berbagai SKPD pemerintah daerah, karena mereka menjalankan fungsi-fungsi khusus dan profesional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Pada beberapa daerah yang mempunyai kompleksitas penyelenggaraan pemerintahan yang tinggi beberapa jabatan fungsional khusus ini sangat dibutuhkan, daerah-daerah industri dan jasa memerlukan jabatan fungsional pengawas tenaga kerja, daerah pertanian memerlukan jabatan fungsional penyuluh pertanian.

Dalam proses implementasi kelembagaan berdasarkan PP No 84 Tahun 2000 ini, juga masih ditemui beberapa kelemahan-kelemahan, yaitu:

Pertama, karena ukuran yang dipakai dalam proses restrukturisasi organisasi adalah ukuran yang bersifat kualitatif, sebahagian besar daerah membesarkan struktur organisasi perangkat daerahnya (proliferasi) dengan alasan mengakomodasi pegawai, peralatan dan dokumen (P2D) dari kantor-kantor ex instansi vertikal (kandep, kanwil). Dalam pola kelembagaan juga tercermin melalui penerapan jabatan wakil kepala dinas. Tidak ada pembatasan dalam jumlah Sub Dinas/Bidang (eselon III) dan jumlah Seksi/Subbidang (eselon IV) sehingga sebahagian besar SKPD-SKPD mempunyai rentang kendali yang lebar baik secara horizontal maupun vertikal, kondisi ini akan merumitkan proses koordinasi dan integrasi tugas dan fungsi dalam SKPD-SKPD.

Kedua, Implementasi berbagai program kegiatan pada beberapa dinas daerah yang merupakan penggabungan dan integrasi dari instansi vertikal masih banyak menemui kendala dalam pelaksanaannya, hal ini dikarenakan pegawai dinas daerah dan pegawai instansi vertikal membawa budaya kerja yang berlainan, sehingga berdampak pada kondisi-kondisi psikososial dalam organisasi SKPD yang baru.

Ketiga, pada saat yang bersamaan dalam penerapan PP No. 84 Tahun 2000, banyak daerah pemekaran yang bermunculan di Indonesia akibat eforia terhadap UU No. 22 Tahun 1999, implikasinya adalah daerah-daerah pemekaran ini mempunyai struktur organisasi yang besar akan tetapi memiliki sumberdaya pegawai yang terbatas. Sebahagian besar pemimpin daerah-daerah pemekaran ini menempuh cara-cara instan, yaitu mendudukkan pejabat-pejabat fungsional guru atau pejabat fungsional ex instansi vertikal (penerangan, sosial, pertanian, pendidikan) untuk menduduki jabatan-jabatan struktural pada SKPD-SKPD, dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki pangkat yang tinggi yang dipersyaratkan dalam jabatan struktural. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perlambatan-perlambatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi SKPD, dikarenakan pejabat-pejabat fungsional yang diangkat dalam jabatan struktural tadi, kurang memiliki kecakapan-kecakapan manajerial yang dipersyaratkan oleh jabatan barunya.

Setelah mengevaluasi implementasi PP No. 84 Tahun 2000, Departemen Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, memberikan kesimpulan bahwa sebahagian besar daerah kabupaten, kota dan propinsi di Indonesia menghabiskan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) mereka sampai 70% hingga 80 % untuk membiayai pegawai dan kegiatan operasional perangkat daerah. Dengan dasar ini kemudian pemerintah pusat menerbitkan PP Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah sebagai pengganti PP No. 84 Tahun 2000. Alasannya adalah perlu adanya pengaturan lebih lanjut terhadap pola organisasi perangkat daerah guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Perubahan-perubahan mendasar bagi pengaturan ulang organisasi perangkat daerah yang terakomodasi dalam PP No 8 Tahun 2003 ini adalah:

Pertama, besaran (size) organisasi perangkat daerah telah diatur pada Pasal 3 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah didasarkan pada kriteria penataan Organisasi Perangkat Daerah. Kriteria pembentukan organisasi perangkat daerah merupakan tolok ukur yang memuat indikator yang harus dipenuhi untuk dapat membentuk suatu organisasi perangkat daerah (tercantum dalam lampiran PP No 8 Tahun 2003). Dengan adanya kriteria pembentukan ini, daerah akan semakin rasional dalam melaksanakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah. Dinas daerah propinsi hanya dimungkinkan dibentuk maksimal 10 (sepuluh) dinas, tercantum pada pasal 5 ayat (5), dan lembaga teknis daerah(badan, kantor, rumah sakit) hanya diperbolehkan maksimal 8 (delapan) menurut pasal 6 ayat (6). Bagi pemerintah kabupaten/kota untuk pembentukan dinas daerah maksimal 14 (empat belas) dinas, pada pasal 9 ayat (4) dan hanya maksimal 8 (delapan) lembaga teknis daerah, pada pasal 10 ayat (6).

Kedua, rentang kendali (span of control) dalam organisasi perangkat daerah juga mengalami pembatasan-pembatasan, yang diatur pada pasal 15 s/d pasal 17, dan jabatan wakil kepala dinas telah dihapus. Secara teoritis pembatasan ini dapat mengefektifkan proses koordinasi dan pengawasan kerja dalam organisasi SKPD.

Ketiga, terdapat pengaturan pada Pasal 12 ayat (3), dimana Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Pengaturan ini merubah secara keseluruhan (komprehensif) cara pandang SKPD-SKPD (dinas, badan, kantor) dalam melaksanakan dan mengelola tugas dan fungsinya, terutama yang terkait dengan pelayanan-pelayanan publik yang bersifat langsung dan skala atau volumenya kecil. Pengaturan dalam pasal ini menginspirasi daerah-daerah yang mempunyai rentang kendali jarak wilayah (span of control spasial) yang jauh dan luas, dan pemecahan bagi efektivitas dan efisiensi pelayanan publik adalah dengan mendelegasikan sebahagian kewenangan pemerintahan (yang ada pada dinas daerah dan lemtek) dari Bupati kepada Camat. Contohnya adalah jika terdapat kecamatan yang cukup jauh dari ibukota kabupaten, semisal jaraknya puluhan kilometer, akan sangat efisien jika beberapa pelayanan publik dasar yang ditangani dinas dan lemtek didelegasikan ke kecamatan, tentu dengan mempertimbangkan skala dan volume urusan/fungsi itu. Urusan-urusan yang dapat didelegasikan kepada kecamatan; pembuatan jalan setapak sampai dengan maksimal 4 meter, persetujuan IMB bagi bangunan non permanen, penerbitan dan pencetakan KTP, dsb. Dengan adanya kewenangan-kewenangan ini, pemerintahan kecamatan akan lebih responsif terhadap kebutuhan pelayanan publik bagi warganya dan pada sisi yang lain memberikan ruang bagi SKPD-SKPD untuk menangani fungsi-fungsi yang berskala besar dan kompleks.

Keempat, Penghapusan Subdinas/Bidang/Seksi yang secara tersendiri menangani fungsi-fungsi program dan perencanaan pada SKPD-SKPD, dan mengintegrasikan fungsi-fungsi program dan perencanaan ke dalam tugas pokok dan fungsi masing-masing jabatan-jabatan struktural yang ada pada SKPD-SKPD. Berdasarkan hasil evaluasi proses implementasi struktur yang didasarkan pada PP No. 84 Tahun 2000, Subdinas/Bidang/Seksi yang secara tersendiri menangani fungsi-fungsi program dan perencanaan, cenderung menjadi sebuah sub struktur yang kuat dan mengarah pada superbody dalam setiap SKPD, kondisi ini dimungkinkan karena sub struktur ini akan mengambil alih keseluruhan fungsi-fungsi perencanaan yang ada pada tingkatan-tingkatan eselon dalam SKPD, apalagi jika kepala SKPD sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam organisasi, sangat menggantungkan berbagai masukan informasi dari sub struktur ini sehingga menjadi saluran tunggal informasi bagi pimpinan SKPD. Secara teoritis fungsi perencanaan juga tidak dapat menjadi sebuah struktur teknis, karena perencanaan merupakan bagian dari fungsi-fungsi manajemen (planning, organizing, actuating, controlling -- POAC), sehingga fungsi perencanaan ini harusnya melekat pada semua jenjang eselon berdasarkan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (disempurnakan dengan Permendagri No 59 Tahun 2007), semakin menegaskan bahwa semua proses perencanaan dan program harus berada pada semua tingkatan dan jenjang eselon pada SKPD-SKPD dan tidak terkonsentrasi dalam satu sub struktur saja (subdinas/bidang/seksi), dengan demikian dapat mendukung perwujudan anggaran berbasis kinerja. Pertanyaannya adalah dimana fungsi perencanaan untuk skala SKPD ? Perencanaan SKPD akan dilekatkan pada Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan, dengan pertimbangan bahwa sub bagian ini hanya mengumpulkan, mengkompilasi dan mensinkronisasikan keseluruhan rencana program kegiatan yang telah disusun oleh masing-masing seksi dan bidang dalam SKPD.

Kelima, pendistribusian kewenangan pemberian rekomendasi perizinan pada masing-masing tingkatan eselon (seksi) berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Dalam konstruksi struktur yang didasarkan pada PP No 84 Tahun 2000, pelaksanaan kewenangan pemberian rekomendasi perizinan disatukan dalam 1 (satu) seksi dengan nomenklatur Seksi Perizinan, saja yang menangani keseluruhan pemberian rekomendasi perizinan pada dinas daerah. Dalam pelaksanaannya konstruksi struktur dengan model ini dirasakan kurang efektif dan tidak berjalannya integrasi dan sinkronisasi tugas dan fungsi antar seksi. Hal ini disebabkan karena seksi yang secara teknis terkait dengan izin-izin yang dikeluarkan, tidak mau bertanggungjawab secara penuh atas rekomendasi izin yang telah diberikan. Agar proses pengawasan terhadap pemberian izin oleh SKPD dapat berjalan secara efektif, maka rekomendasi teknis pemberian izin-izin itu harus dikeluarkan oleh masing-masing seksi yang secara teknis mempunyai kewenangan atas hal tersebut.  

Implementasi PP No 8 Tahun 2003 ke dalam konstruksi kelembagaan pemerintah daerah, cukup berhasil mengefektifkan proses-proses pelayanan publik yang dilaksanakan oleh SKPD-SKPD, hal ini karena struktur yang ramping dengan pembatasan pada jenjang hirarki vertikal dan horizontal berdampak pada menurunnya tingkat kompleksitas pada setiap SKPD, dengan demikian semakin memudahkan proses koordinasi dan integrasi di dalam struktur organisasi. Namun demikian tidak semua pemerintah daerah mau mengimplementasikan aturan-aturan dalam PP No. 8 Tahun 2003, yaitu sebahagian besar pemerintah propinsi, alasan yang yang dikemukakan adalah bahwa jumlah pegawai yang sangat besar pada pemerintah propinsi tidak akan mampu diakomodasi melalui perampingan struktur yang mengecil (lagi-lagi kepentingan penguasa yang dikedepankan).

Melalui proses-proses lobby yang dilaksanakan pada tingkatan pemerintah pusat, terutama oleh daerah-daerah yang masih menolak pemberlakuan PP No. 8 Tahun 2003, pemerintah pusat melaksanakan revisi ketiga terhadap peraturan pedoman organisasi perangkat daerah ini, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam peraturan yang baru ini besaran (size) organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan menggunakan variabel, jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD yang dimiliki setiap daerah, pasal 19 ayat (1), perhitungan variabel-variabel ini mengacu pada lampiran PP No. 41 Tahun 2007. Dengan demikian besaran organisasi perangkat daerah tidak akan sama, sesuai dengan capaian skoring berdasarkan variabel yang telah ditetapkan pada pasal 20 ayat (1), (2) dan (3). Pada dimensi sentralisasi terdapat pelebaran dalam jenjang hirarki dan horizontal, dengan dimungkinkannya penambahan 1 (satu) asisten pada secretariat daerah serta 1 (satu) sub bagian pada sekretariat dan 1 (satu) seksi di bawah bidang pada dinas daerah dan badan, pasal 24 s/d 32. Bagi dinas atau badan yang melaksanakan beberapa bidang urusan pemerintahan (PP No. 38 Tahun 2007) dimungkinkan membentuk paling banyak 7 (tujuh) bidang.  

Pola dasar yang dipakai dalam menyusun konstruksi kelembagaan perangkat daerah berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 ini adalah mengacu pada perumpunan urusan pemerintahan, pasal 22. Pasal 22 PP No. 41 Tahun 2007, merupakan penyelarasan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pewadahan dalam bentuk dinas mengacu pada 12 bidang urusan pemerintahan, pasal 22 ayat (4), sedangkan pewadahan dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, rumah sakit mengacu pada 12 bidang urusan pemerintahan, pasal 22 ayat (5). Secara konseptual, tidak terlalu banyak perbedaan konstruksi kelembagaan antara PP No. 8 Tahun 2003 dengan PP No. 41 Tahun 2007 ( contoh perbandingan Kelembagaan Pemerintah Kota Makassar) :

 

 

PERBANDINGAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH KOTA MAKASSAR

(PP No. 8 TAHUN 2003 dan PP No. 41 TAHUN 2007)

 

PP Nomor 8 Tahun 2003

PP Nomor 41 Tahun 2007

No

Nomenklatur

Perangkat Daerah

No

Nomenklatur

Perangkat Daerah

 

 

SEKRETARIAT DAERAH

 

Asisten Bidang Pemerintahan

a.    Bagian Tata Pemerintahan

b.    Bagian Hukum

c.    Bagian Organisasi dan Tatalaksana

d.    Bagian Hubungan Masyarakat

 

Asisten Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Sosial

a.    Bagian Perekonomian dan Pembangunan

b.    Bagian Kesejahteraan Rakyat

c.    Bagian Pemberdayaan Perempuan

 

Asisten Bidang Administrasi

a.    Bagian Umum

b.    Bagian Keuangan

c.    Bagian Perlengkapan

        

 

 

SEKRETARIAT DAERAH

 

Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat

a.    BagianTata Pemerintahan

b.    Bagian Kesejahteraan Rakyat

c.    Bagian Hubungan Masyarakat

 

Asisten Perekonomian dan Pembangunan

a.    Bagian Ekonomi dan Pembangunan

b.    Bagian Protokol

 

Asisten Administrasi dan Umum

a.    Bagian Hukum dan Hak Azasi Manusia

b.    Bagian Organisasi dan Tatalaksana

c.    Bagian Umum dan Kepegawaian

d.    Bagian Keuangan

e.    Bagian Perlengkapan

 

 

SEKRETARIAT DPRD

 

Bagian Umum

Bagian Persidangan

Bagian Keuangan

Bagian Perlengkapan

 

 

 

SEKRETARIAT DPRD

 

Bagian Umum

Bagian Persidangan

Bagian Keuangan

Bagian Perlengkapan

 

 

 

 

 

DINAS

 

Dinas Pendidikan

Dinas Kesehatan

Dinas Pekerjaan Umum

Dinas Tata Ruang dan Bangunan

Dinas Pemuda dan Olah Raga

Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Dinas Tenaga Kerja

Dinas Perhubungan

Dinas Informasi dan Komunikasi

Dinas Sosial

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Dinas Kelautan dan Ketahanan Pangan

Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal

Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan

Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana

Dinas Pendapatan

 

 

DINAS

 

Dinas Pendidikan

Dinas Kesehatan

Dinas Pekerjaan Umum

Dinas Tata Ruang dan Bangunan

Dinas Pemuda dan Olah Raga

Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Dinas Tenaga Kerja

Dinas Perhubungan

Dinas Komunikasi dan Informatika

Dinas Sosial

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Dinas Kelautan dan Peternakan

Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal

Dinas Kebersihan dan Pertamanan

Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana

Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset

 

 

 

LEMTEK

 

Inspektorat

Bappeda

Satuan Polisi Pamong Praja

Badan Kepegawaian Daerah

Badan Pendidikan dan Pelatihan

Badan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Keluarga Berencana

Kantor Arsip, Perpustakaan dan PDE

Kantor Kesatuan Bangsa

Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan

Rumah Sakit Umum Daerah Daya

 

 

 

LEMTEK

 

Inspektorat;

Bappeda

Satuan Polisi Pamong Praja

Badan Kepegawaian Daerah

Badan Pendidikan dan Pelatihan

Badan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Keluarga Berencana

Kantor Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data

Kantor Kesatuan Bangsa

Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan

Rumah Sakit Umum Daya

Badan Lingkungan Hidup

Kantor Pemberdayaan Perempuan

Kantor Ketahanan Pangan

 

 

Mencermati perbandingan kelembagaan Pemerintah Kota Makassar di atas, terlihat bahwa konstruksi kelembagaan sebelum dan sesudah pemberlakuan PP No. 41 Tahun 2007, hampir sama saja. Yang terjadi perbedaan cukup signifikan adalah pada pola struktur sekretariat daerah, karena pola ini menyesuaikan dengan pola yang diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, huruf C nomor 5 halaman 6 dan 7. Jika diperbandingkan, pola struktur sekretariat daerah (PP No. 8 Tahun 2003) lebih ideal dari segi pengelompokan dan pengkoordinasian fungsi perangkat daerah, dibandingkan dengan pola struktur sekretariat daerah (PP No. 41 Tahun 2007/Permendagri No. 57 Tahun 2007). Alur pikir kelembagaan dalam Permendagri No. 57 Tahun 2007 ini, agak tidak konsisten dengan pola pelembagaan yang ideal (khususnya pada sekretariat daerah) dan ini dapat menggangu hubungan tata kerja dan koordinasi pekerjaan pada tingkat sektretariat daerah.

Pada pola kelembagaan dinas, yang mengalami perubahan adalah nomenklatur Dinas Informasi dan Komunikasi (PP No. 8 Tahun 2003) menjadi Dinas Komunikasi dan Informatika (PP No. 41 Tahun 2007) dengan pertimbangan mengikuti pola departementalisasi pada pemerintahan pusat. Selanjutnya perubahan Dinas Pendapatan (PP No. 8 Tahun 2003) menjadi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset. Pola kelembagaan ini dirancang untuk mensinkronisasikan dengan sistem pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam ; a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, e. PeraturanMenteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, f. PeraturanMenteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007  tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007, diatur tentang Bendaharawan Umum Daerah (BUD), dimana BUD ini dijabat oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) dengan demikian bahwa pola kelembagaan pengelolaan keuangan daerah harus setingkat Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD) yaitu Dinas atau Badan, dan tidak lagi dimungkinkan sebagai sebuah Bagian (Keuangan) atau Asisten Bidang Keuangan, karena kedua tingkatan eselon ini bukanlah struktur yang setingkat Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dalam Permendagri No. 57 Tahun 2007 telah ditetapkan bahwa fungsi pendapatan daerah, fungsi pengelolaan keuangan serta fungsi perlengkapan (asset) harus disatukan menjadi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset.

Badan Lingkungan Hidup, Kantor Ketahanan Pangan dan Kantor Pemberdayaan Perempuan (PP No. 41 Tahun 2007) mengikuti pola kelembagaan yang diatur dalam pasal 22 ayat (5) PP No. 41 Tahun 2007, dimana bidang lingkungan hidup (dahulu berada pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan) harus diwadahi dalam bentuk Badan/Kantor, bidang ketahanan pangan (dahulu berada pada Dinas Kelautan dan Ketahanan Pangan) harus diwadahi dalam bentuk Badan/Kantor dan bidang pemberdayaan perempuan (dahulu berada pada Sekretariat Daerah) harus diwadahi dalam bentuk Badan/Kantor.

Yang perlu mendapatkan pencermatan juga dalam PP No. 41 Tahun 2007, adalah penetapan staf ahli gubernur/walikota/bupati pada pasal 36 dan 37. Staf ahli ini mempunyai jenjang eselon II a pada propinsi dan II b pada kabupaten/kota, dengan demikian kedudukan staf ahli ini merupakan upaya menformalkan staf ahli gubernur/walikota/bupati yang selama ini diangkat dari kalangan akademisi berdasarkan keputusan gubernur/walikota/bupati. Karena jenjang eselon staf ahli ini adalah eselon II, yang perlu diatur kemudian adalah tata kerja dan hubungan koordinasinya dengan eselon II lainnya dalam formasi organisasi perangkat daerah, terutama dengan pelaksanaan tugas-tugas asisten sekretariat daerah, sehingga ada pembagian tugas dan fungsi yang jelas dan meminimalkan overlapping tugas antar keduanya. Sebagai acuan tata kerja antar asisten setda dengan staf ahli ini, perlu dibuat pembedaan terlebih dahulu yaitu, asisten setda mempunyai fungsi pokok sebagai "function coordinator" berdasarkan bidang tugasnya sedangkan untuk staf ahli mempunyai fungsi pokok sebagai "policy advice" bagi gubernur/walikota/bupati.

 

Makassar, 25 Januari 2009

Salam,

 

ZAINAL IBRAHIM

 



Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!