Jumat, 06 Maret 2009

KOMITMEN KEPALA DAERAH BAGI PENCIPTAAN GOOD GOVERNANCE

Pada Hari Jumat tanggal 6 Maret 2009, pukul 09.00 WITA bertempat di Ruang Pola Kantor Walikota Makassar, H. A. Herry Iskandar sebagai Walikota Makassar mengundang seluruh kepada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terdiri dari Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Kantor dan Camat selaku Pengguna Anggaran pada masing-masing SKPD. Pada acara ini juga dihadiri oleh Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa sebanyak 62 orang yang telah lulus sertifikasi nasional pengadaan barang dan jasa yang diselenggarakan oleh BAPPENAS. Mendampingi Walikota Makassar dalam acara ini adalah Sekretaris Daerah Kota Makassar, Asisten Bidang Pemerintahan, Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan dan Asisten Bidang Administrasi.

Mengapa acara ini begitu penting ? Acara pada hari ini bukan dalam rangkaian pembahasan teknis dalam rangkaian implementasi APBD Kota Makassar Tahun Anggaran 2009, namun lebih daripada itu pertemuan kali ini dimaksudkan untuk membuat komitmen bersama antara Walikota dengan seluruh aparat pemerintah daerah yang terkait dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa, agar dalam pelaksanaannya kemudian tidak ada KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang menyertainya.

Mungkin jika kita hanya sekilas memperhatikan awalan dari tulisan ini, akan terbersit dalam benak kita sebuah skeptisitas, bahwa forum ini hanya digunakan sebagai ajang popularitas belaka dari para petinggi pemerintah daerah. Namun bagi pegawai Pemerintah Kota Makassar yang sudah mengenal karakter psikologis dan leadership style H. A. Herry Iskandar, forum ini bukan sekedar acara yang dibuat main-main, akan tetapi lebih bermakna pada pertanggungjawaban moral dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.

Point penting yang ditegaskan oleh Walikota Makassar dalam pertemuan ini adalah pertama, menghilangkan segala jenis pengaturan pengadaan barang dan jasa yang menyalahi peraturan, utamanya yang bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Walikota menegaskan tidak boleh ada pengaturan-pengaturan untuk memenangkan pihak tertentu dalam pengadaan barang dan jasa, apalagi dengan membawa-bawa nama para pejabat pemerintah daerah. Walikota Makassar secara tegas menegaskan tidak ada "perintah" untuk mengatur pengadaan barang dan jasa, dan kalo ada pihak yang mengatasnamakan Walikota dan para pejabat pemerintah kota untuk itu, maka Kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran diminta untuk tidak melayani dan menanggapinya.

Kedua, Walikota meminta pejabat pengadaan barang dan jasa dan pejabat yang ditunjuk sebagai PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) berani menolak rekomendasi-rekomendasi tertulis maupun lisan dari pejabat ditingkat atasnya, yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku, dan pada kesempatan ini Walikota menegaskan bahwa dirinya tidak akan memberikan rekomendasi dalam bentuk apapun, dan mengharapkan seluruh pejabat pemerintah daerah juga mengikuti hal demikian.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam forum dimaksud di atas :

Pertama, lingkungan pemerintahan daerah yang telah berubah saat ini, mengharuskan setiap aparat pemerintah daerah untuk lebih transparan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang diamanatkan. Akuntabilitas publik (public accountability) harus menjadi acuan moral dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan.   

Kedua, komitmen moral dari pimpinan daerah dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan akan menjadi rujukan utama bagi seluruh aparat pemerintah daerah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dan kondisi ini akan berdampak pada peningkatan kualitas sistem dan prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan daerah.

Ketiga, komitmen moral yang mengalir dari atas ke bawah struktur organisasi pemerintahan daerah, akan memperkuat sistem pengawasan pelaksanaan kegiatan pemerintahan daerah, sehingga berbagai penyimpangan yang terjadi akan cepat terdeteksi, karena kesalahan-kesalahan itu bukan merupakan produk dari sebuah sistem, akan tetapi secara parsial merupakan suatu kelalaian atau kesengajaan personal. Sistem akuntabilitas pemerintahan yang kuat dibutuhkan untuk menghilangkan stereotype bahwa KKN yang umum terjadi dalam pemerintahan di Indonesia adalah KKN "berjamaah", dimana terjadinya KKN karena seluruh bagian sistem tidak dapat keluar dari "lingkaran sistem" itu sendiri.

Dalam berita Harian Kompas, 16 Januari 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, sumber korupsi dan kolusi yang masih belum banyak tersentuh adalah dalam hal pengadaan barang dan jasa untuk departemen, kementerian, dan lembaga negara di pusat dan daerah. Bentuk korupsi yang kerap terjadi adalah penggelembungan anggaran. Namun untuk lingkungan pemerintah daerah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan 127 kepala daerah, baik gubernur, walikota, maupun bupati, diperiksa karena terkait berbagai perkara, terutama korupsi.

Kebijakan Presiden ini menyiratkan bahwa perlu adanya kehati-hatian dalam pelaksanaan pemerintahan yang dijalankan kepala daerah beserta seluruh aparat pemerintah daerah. Tentunya yang perlu pula mendapatkan perhatian adalah standarisasi aturan main yang disepakati antara pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ini. Sehingga aparat pemerintah daerah yang secara moral tadi sudah berkeinginan untuk melaksanakan berbagai kegiatan secara transparan dan akuntabel, tidak terjebak dalam kesalahpahaman atas konsepsi peraturan yang berlaku.

Dalam implementasi pelaksanaan kegiatan pengadaan barang dan jasa ini, masih terdapat beberapa aturan yang tidak selaras antara satu dengan yang lainnya, hal ini cukup membingungkan aparat pemerintah daerah yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini, karena mereka takut terjebak dalam pola standarisasi pengawasan dan audit pemeriksaan yang tidak sama dari instansi pengawasan.

Dalam sistem pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan dalam lingkungan pemerintah daerah peraturan-peraturan yang dijadikan rujukan antara lain :

1.    Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

2.    Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

3.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

4.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Yang menjadi permasalahan adalah terdapat beberapa aturan-aturan dalam peraturan di atas yang belum selaras dan masih dipermasalahkan oleh instansi pengawasan dalam rangka audit pelaksanaan kegiatan barang dan jasa pada pemerintah daerah. Contoh adalah terminologi Pejabat Pembuat Komitmen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1a Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan bahwa "Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI)/Pemimpin Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pemilik pekerjaan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa".

Terminologi Pejabat Pembuat Komitmen ini tidak dikenal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dimana ketiga peraturan ini juga menjadi rujukan dalam sistem pengelolaan anggaran dan kegiatan pemerintah daerah, sehingga dalam pelaksanaannya sebahagian besar pemerintah daerah tidak menunjuk Pejabat Pembuat Komitmen sebagai salah satu komponen yang terlibat dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran dan kegiatan.

Terdapat beberapa alasan mengapa Pejabat Pembuat Komitmen ini tidak ditunjuk/diadakan oleh pemerintah daerah, antara lain :

1.    Rentang kendali kegiatan pengadaan barang dan jasa dalam lingkup pemerintah daerah, utamanya pemerintah kabupaten/kota relatif kecil, sehingga pengendalian dan jangkauan pengawasan kegiatan oleh Pengguna Anggaran (PA) yaitu Kepala SKPD tidak terlalu berat dan rumit. Berbeda jika kegiatan pengadaan barang dan jasa itu diadakan oleh Departemen atau LPND, dimana ruang lingkupnya seluruh Indonesia, dalam kondisi demikian pimpinan departemen atau LPND selaku Pengguna Anggaran tentunya perlu menunjuk Pejabat Pembuat Komitmen untuk membantunya dalam rangka pencapaian efektifitas kegiatan dikarenakan rentang kendali yang begitu luas;

2.    Dengan rentang kendali kegiatan yang kecil pada skala kabupaten/kota, akan sangat riskan jika dalam lingkup pemerintah daerah ditunjuk Pejabat Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen karena akan merancukan sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pengadaan barang dan jasa, disebabkan karena tugas pokok dan fungsi Pejabat Pengguna Anggaran yang dirujuk dalam sistem pengelolaan keuangan daerah adalah yang diatur dalam Pasal 10, Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sementara tugas pokok dan fungsi Pejabat Pembuat Komitmen merujuk pada Pasal 9 ayat (3), Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Salah satu hal yang sangat krusial adalah bahwa kedua pejabat ini diberikan kewenangan oleh peraturan untuk "mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan". Pertanyaannya adalah pada saat kapan Pejabat Pembuat Komitmen (dalam kondisi pelaksanaan kegiatan pemerintah daerah) dapat menggantikan Pejabat Pengguna Anggaran untuk mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain ? Tentunya pertanyaan ini agak sukar dijawab, karena praktis Pejabat Pengguna Anggaran tetap berada dalam lingkup wilayah kerjanya.

Dengan mencermati kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, maka tentunya peran instansi pengawasan vertikal (BPK dan BPKP) diharapkan perlu memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah secara lebih proporsional. Di satu sisi pemerintah daerah sudah punya komitmen moral untuk melaksanakan perbaikan terhadap sistem pengadaan barang dan jasa, akan tetapi disisi lain, berbagai peraturan yang mendukung pelaksanaan kegiatan itu, saling tidak konsisten dalam pencapaian tujuannya.



Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!