Rabu, 02 September 2009

KATEGORISASI DAN KESELARASAN

Suatu ketiga sahabat saya Kamaruddin Dg Nuntung menulis dalam statusnya di facebook bahwa "Kemiskinan itu hanyalah sebuah Kategorisasi". Karena tertarik dengan pemaknaan dari kalimat ini, saya kemudian berusaha mencari-cari referensi untuk memaknai lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pengkategorisasian ini. Saya tidak lagi menjelajahi referensi-referensi yang menjelaskan tentang kemiskinan itu sendiri, karena sejak kuliah di awal tahun 1989, saya telah direcoki berbagai teori-teori perubahan sosial, mulai dari Paradigma Fungsionalis, Paradigma Interpretatif, Paradigma Humanis Radikal sampai pada Paradigma Struktural Radikal, yang didalamnya membahas tentang berbagai simulasi tentang perubahan social dan kemiskinan.

Nassim Nicholas Taleb (2009) menjelaskan tentang ini dengan sangat baik, menurutnya Kategorisasi selalu mereduksi kompleksitas yang sesungguhnya. Kategorisasi memang perlu untuk manusia, tetapi menjadi penyebab penyakit ketika dipandang sebagai sesuatu yang defenitif, yang mencegah orang memandang perbatasan sebagai sesuatu yang kabur, terlebih kemungkinan mengubah kategori.

Kategorisasi merupakan suatu keniscayaan, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kategorisasi sudah ada sejak manusia diciptakan. Laki-laki (Adam as) dan Perempuan (Hawa as) adalah bentuk kategorisasi yang mula-mula ada. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara kita memaknai kategorisasi ini menjadi sebuah kata yang bersifat netral, bukan sebuah kata yang memperlawankan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dengan kata lain bahwa kategorisasi itu harus dilihat sebagai sebuah cara untuk menyelaraskan berbagai hal yang ada dan bukan mempertentangkannya.

Memang terdapat masalah besar dalam pemaknaan terhadap kategorisasi ini, hal ini telah berulangkali disimulasikan dalam sejarah manusia. Ketika Hitler membuat kategorisasi Ras Aria dan Ras Non Aria, dampaknya adalah terjadinya perang dunia II, pembasmian etnis yahudi, penindasan terhadap HAM di seluruh Eropa pada saat itu. Pada saat Karl Marx mengkategorisasikan Kelas Borjuis dan Kelas Pekerja dan melahirkan "theory of surplus value" hal ini menjadi pemicu revolusi sosial komunis. Dan pada saat saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang bermukim di Maluku mengidentifikasikan diri mereka dengan kategorisasi muslim (putih) dan non muslin (merah) dengan sangat ekstrim, maka hancur dan runtuhlah seluruh pranata-pranata sosial kemasyarakatan yang selama beratus-ratus tahun hidup dan berkembang secara damai dan selaras sebagai bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku yang disebut Pelagandong.

Apakah kategorisasi ini harus dihapuskan, tidak juga, karena kategorisasi adalah sebuah keniscayaan dalam kahidupan ini. Yang perlu dihindari adalah efek "penularan" terhadap sebuah pengkategorisasian yang ekstrim. Apabila Anda memilih seratus orang pengamat sosial berpikiran bebas yang mampu melihat faktor-faktor kemiskinan tanpa pengaruh dari sesama pengamat sosial yang lain, Anda akan memperoleh seratus pandangan yang berbeda. Namun proses (ekstrim) yang menjadikan orang-orang ini membuat pandangan tentang kemiskinan sama (seirama) menyebabkan dimensionalitas pandangan mereka menyusut secara luar biasa, dan mereka cenderung menyelaraskan pandangan-pandangan dan menggunakan apa pun yang sama menjadi pemicu (trigger). Dominasi pandangan dari seseorang atau sekelompok orang, dan yang biasanya kemudian dipaksakan pada komunitas yang lebih luas akan menimbulkan efek negatif dan kemudian diiringi penentangan. Kondisi ini yang memunculkan konflik dan pertentangan.

Intinya adalah bahwa kategorisasi bukanlah sebuah hal yang mengarahkan kita pada sebuah pertentangan abadi, namun menjadi sebuah acuan untuk menyelaraskan pola pandang kita dalam mencapai kemaslahatan bersama.

 

Makassar, 30 Agustus 2009

ZI


start: 2008-06-20 end: 0000-00-00
Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!