FROM: MR MOHAMMED ALI AUDITING / ACCOUNTING DIRECTOR INTERNATIONAL BANK OF AFRICA(BOA) BURKINA-FASO WEST AFRICA. My dear I am contacting you in regards to a business transfer of a huge sum of money from a deceased account. Though I know that a transaction of this magnitude will make anyone apprehensive and worried, but I am assuring you that all will be well at the end of the day. I decided to contact you due to the urgency of this transaction. PROPOSITION; I discovered an abandant sum of $11.5M(Eleven Million Five Hundred thousand United states Dollars) in an account that belongs to one of our foreign customers who died along with his entire family. Since his death, none of his next-of-kin or relations has come forward to lay claims to this money as the heir. I cannot release the fund from his account unless someone applies for claim as the next-of-kin to the deceased as indicated in our banking guidelines. Upon this discovery, I now seek your permission to have you stand as a next of kin to the deceased as all documentations will be carefully worked out by me for the funds $11.5M(Eleven Million Five Hundred thousand United states Dollars) to be released in your favour as the beneficiary's next of kin.It may interest you to note that I have secured from the probate an order of madamus to locate any of deceased beneficiaries. Please acknowledge receipt of this message in acceptance of my mutual business endeavour by furnishing me with the following; 1. Your Full Names and Address. 2. Direct Telephone and Fax numbers. These requirements will enable me file a letter of claim to the appropriate departments for necessary approvals in your favour before the transfer can be made. I shall be compensating you with $4.6 Million Dollars on final conclusion of this project, while the rest $6.9Million shall be for me. Your share stays with you while the rest shall be for me for investment purposes in your country. If this proposal is acceptable by you, do not take undue advantage of the trust I have bestowed in you, I await your urgent email. Regards, Your;s faithfully, MR MR MOHAMMED ALI. |
Sabtu, 13 Maret 2010
Lihat profil Netlog saya
Tidak mau lagi menerima undangan dari teman kamu? Klik disini. | |||||||||||||||||||||||||
Zainal Ibrahim laki-laki - 40 tahun Sulawesi Selatan
| Hai! Saya telah membuat profil Netlog dengan foto-foto saya, video-video, blog dan event dan saya ingin menambahkan kamu sebagai teman sehingga kamu bisa melihat semua ini. Pertama-tama kamu harus mendaftar di Netlog! Kemudian kamu dapat membuat profil kamu sendiri.
Salam, Zainal | ||||||||||||||||||||||||
Apakah tombol diatas tidak ditampilkan dengan jelas? Klik disini , atau tempel link dibawah ini di balok alamat di browser kamu. http://id.netlog.com/go/mailurl/type=invite_1&mailid=21236059&id=6&url=-L2dvL3JlZ2lzdGVyL2lkPTUzODEyNDE2Jmk9aDk1 Tidak mau lagi menerima undangan dari teman kamu? Klik disini . Don't want to receive invitations from your friends anymore? Click here . Netlog NV/SA - E. Braunplein 18. B-9000 Gent. Belgium. BE0859635972 - abuse-id@netlog.com | |||||||||||||||||||||||||
Rabu, 02 September 2009
KATEGORISASI DAN KESELARASAN
Suatu ketiga sahabat saya Kamaruddin Dg Nuntung menulis dalam statusnya di facebook bahwa "Kemiskinan itu hanyalah sebuah Kategorisasi". Karena tertarik dengan pemaknaan dari kalimat ini, saya kemudian berusaha mencari-cari referensi untuk memaknai lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pengkategorisasian ini. Saya tidak lagi menjelajahi referensi-referensi yang menjelaskan tentang kemiskinan itu sendiri, karena sejak kuliah di awal tahun 1989, saya telah direcoki berbagai teori-teori perubahan sosial, mulai dari Paradigma Fungsionalis, Paradigma Interpretatif, Paradigma Humanis Radikal sampai pada Paradigma Struktural Radikal, yang didalamnya membahas tentang berbagai simulasi tentang perubahan social dan kemiskinan. Nassim Nicholas Taleb (2009) menjelaskan tentang ini dengan sangat baik, menurutnya Kategorisasi selalu mereduksi kompleksitas yang sesungguhnya. Kategorisasi memang perlu untuk manusia, tetapi menjadi penyebab penyakit ketika dipandang sebagai sesuatu yang defenitif, yang mencegah orang memandang perbatasan sebagai sesuatu yang kabur, terlebih kemungkinan mengubah kategori. Kategorisasi merupakan suatu keniscayaan, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kategorisasi sudah ada sejak manusia diciptakan. Laki-laki (Adam as) dan Perempuan (Hawa as) adalah bentuk kategorisasi yang mula-mula ada. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara kita memaknai kategorisasi ini menjadi sebuah kata yang bersifat netral, bukan sebuah kata yang memperlawankan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dengan kata lain bahwa kategorisasi itu harus dilihat sebagai sebuah cara untuk menyelaraskan berbagai hal yang ada dan bukan mempertentangkannya. Memang terdapat masalah besar dalam pemaknaan terhadap kategorisasi ini, hal ini telah berulangkali disimulasikan dalam sejarah manusia. Ketika Hitler membuat kategorisasi Ras Aria dan Ras Non Aria, dampaknya adalah terjadinya perang dunia II, pembasmian etnis yahudi, penindasan terhadap HAM di seluruh Eropa pada saat itu. Pada saat Karl Marx mengkategorisasikan Kelas Borjuis dan Kelas Pekerja dan melahirkan "theory of surplus value" hal ini menjadi pemicu revolusi sosial komunis. Dan pada saat saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang bermukim di Maluku mengidentifikasikan diri mereka dengan kategorisasi muslim (putih) dan non muslin (merah) dengan sangat ekstrim, maka hancur dan runtuhlah seluruh pranata-pranata sosial kemasyarakatan yang selama beratus-ratus tahun hidup dan berkembang secara damai dan selaras sebagai bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku yang disebut Pelagandong. Apakah kategorisasi ini harus dihapuskan, tidak juga, karena kategorisasi adalah sebuah keniscayaan dalam kahidupan ini. Yang perlu dihindari adalah efek "penularan" terhadap sebuah pengkategorisasian yang ekstrim. Apabila Anda memilih seratus orang pengamat sosial berpikiran bebas yang mampu melihat faktor-faktor kemiskinan tanpa pengaruh dari sesama pengamat sosial yang lain, Anda akan memperoleh seratus pandangan yang berbeda. Namun proses (ekstrim) yang menjadikan orang-orang ini membuat pandangan tentang kemiskinan sama (seirama) menyebabkan dimensionalitas pandangan mereka menyusut secara luar biasa, dan mereka cenderung menyelaraskan pandangan-pandangan dan menggunakan apa pun yang sama menjadi pemicu (trigger). Dominasi pandangan dari seseorang atau sekelompok orang, dan yang biasanya kemudian dipaksakan pada komunitas yang lebih luas akan menimbulkan efek negatif dan kemudian diiringi penentangan. Kondisi ini yang memunculkan konflik dan pertentangan. Intinya adalah bahwa kategorisasi bukanlah sebuah hal yang mengarahkan kita pada sebuah pertentangan abadi, namun menjadi sebuah acuan untuk menyelaraskan pola pandang kita dalam mencapai kemaslahatan bersama. Makassar, 30 Agustus 2009 ZI |
start: 2008-06-20 end: 0000-00-00
Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!
Jumat, 06 Maret 2009
KOMITMEN KEPALA DAERAH BAGI PENCIPTAAN GOOD GOVERNANCE
Pada Hari Jumat tanggal 6 Maret 2009, pukul 09.00 WITA bertempat di Ruang Pola Kantor Walikota Makassar, H. A. Herry Iskandar sebagai Walikota Makassar mengundang seluruh kepada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terdiri dari Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Kantor dan Camat selaku Pengguna Anggaran pada masing-masing SKPD. Pada acara ini juga dihadiri oleh Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa sebanyak 62 orang yang telah lulus sertifikasi nasional pengadaan barang dan jasa yang diselenggarakan oleh BAPPENAS. Mendampingi Walikota Makassar dalam acara ini adalah Sekretaris Daerah Kota Makassar, Asisten Bidang Pemerintahan, Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan dan Asisten Bidang Administrasi. Mengapa acara ini begitu penting ? Acara pada hari ini bukan dalam rangkaian pembahasan teknis dalam rangkaian implementasi APBD Kota Makassar Tahun Anggaran 2009, namun lebih daripada itu pertemuan kali ini dimaksudkan untuk membuat komitmen bersama antara Walikota dengan seluruh aparat pemerintah daerah yang terkait dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa, agar dalam pelaksanaannya kemudian tidak ada KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang menyertainya. Mungkin jika kita hanya sekilas memperhatikan awalan dari tulisan ini, akan terbersit dalam benak kita sebuah skeptisitas, bahwa forum ini hanya digunakan sebagai ajang popularitas belaka dari para petinggi pemerintah daerah. Namun bagi pegawai Pemerintah Kota Makassar yang sudah mengenal karakter psikologis dan leadership style H. A. Herry Iskandar, forum ini bukan sekedar acara yang dibuat main-main, akan tetapi lebih bermakna pada pertanggungjawaban moral dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Point penting yang ditegaskan oleh Walikota Makassar dalam pertemuan ini adalah pertama, menghilangkan segala jenis pengaturan pengadaan barang dan jasa yang menyalahi peraturan, utamanya yang bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Walikota menegaskan tidak boleh ada pengaturan-pengaturan untuk memenangkan pihak tertentu dalam pengadaan barang dan jasa, apalagi dengan membawa-bawa nama para pejabat pemerintah daerah. Walikota Makassar secara tegas menegaskan tidak ada "perintah" untuk mengatur pengadaan barang dan jasa, dan kalo ada pihak yang mengatasnamakan Walikota dan para pejabat pemerintah kota untuk itu, maka Kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran diminta untuk tidak melayani dan menanggapinya. Kedua, Walikota meminta pejabat pengadaan barang dan jasa dan pejabat yang ditunjuk sebagai PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) berani menolak rekomendasi-rekomendasi tertulis maupun lisan dari pejabat ditingkat atasnya, yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku, dan pada kesempatan ini Walikota menegaskan bahwa dirinya tidak akan memberikan rekomendasi dalam bentuk apapun, dan mengharapkan seluruh pejabat pemerintah daerah juga mengikuti hal demikian. Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam forum dimaksud di atas : Pertama, lingkungan pemerintahan daerah yang telah berubah saat ini, mengharuskan setiap aparat pemerintah daerah untuk lebih transparan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang diamanatkan. Akuntabilitas publik (public accountability) harus menjadi acuan moral dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. Kedua, komitmen moral dari pimpinan daerah dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan akan menjadi rujukan utama bagi seluruh aparat pemerintah daerah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dan kondisi ini akan berdampak pada peningkatan kualitas sistem dan prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan daerah. Ketiga, komitmen moral yang mengalir dari atas ke bawah struktur organisasi pemerintahan daerah, akan memperkuat sistem pengawasan pelaksanaan kegiatan pemerintahan daerah, sehingga berbagai penyimpangan yang terjadi akan cepat terdeteksi, karena kesalahan-kesalahan itu bukan merupakan produk dari sebuah sistem, akan tetapi secara parsial merupakan suatu kelalaian atau kesengajaan personal. Sistem akuntabilitas pemerintahan yang kuat dibutuhkan untuk menghilangkan stereotype bahwa KKN yang umum terjadi dalam pemerintahan di Indonesia adalah KKN "berjamaah", dimana terjadinya KKN karena seluruh bagian sistem tidak dapat keluar dari "lingkaran sistem" itu sendiri. Dalam berita Harian Kompas, 16 Januari 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, sumber korupsi dan kolusi yang masih belum banyak tersentuh adalah dalam hal pengadaan barang dan jasa untuk departemen, kementerian, dan lembaga negara di pusat dan daerah. Bentuk korupsi yang kerap terjadi adalah penggelembungan anggaran. Namun untuk lingkungan pemerintah daerah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan 127 kepala daerah, baik gubernur, walikota, maupun bupati, diperiksa karena terkait berbagai perkara, terutama korupsi. Kebijakan Presiden ini menyiratkan bahwa perlu adanya kehati-hatian dalam pelaksanaan pemerintahan yang dijalankan kepala daerah beserta seluruh aparat pemerintah daerah. Tentunya yang perlu pula mendapatkan perhatian adalah standarisasi aturan main yang disepakati antara pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ini. Sehingga aparat pemerintah daerah yang secara moral tadi sudah berkeinginan untuk melaksanakan berbagai kegiatan secara transparan dan akuntabel, tidak terjebak dalam kesalahpahaman atas konsepsi peraturan yang berlaku. Dalam implementasi pelaksanaan kegiatan pengadaan barang dan jasa ini, masih terdapat beberapa aturan yang tidak selaras antara satu dengan yang lainnya, hal ini cukup membingungkan aparat pemerintah daerah yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini, karena mereka takut terjebak dalam pola standarisasi pengawasan dan audit pemeriksaan yang tidak sama dari instansi pengawasan. Dalam sistem pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan dalam lingkungan pemerintah daerah peraturan-peraturan yang dijadikan rujukan antara lain : 1. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Yang menjadi permasalahan adalah terdapat beberapa aturan-aturan dalam peraturan di atas yang belum selaras dan masih dipermasalahkan oleh instansi pengawasan dalam rangka audit pelaksanaan kegiatan barang dan jasa pada pemerintah daerah. Contoh adalah terminologi Pejabat Pembuat Komitmen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1a Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan bahwa "Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI)/Pemimpin Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pemilik pekerjaan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa". Terminologi Pejabat Pembuat Komitmen ini tidak dikenal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dimana ketiga peraturan ini juga menjadi rujukan dalam sistem pengelolaan anggaran dan kegiatan pemerintah daerah, sehingga dalam pelaksanaannya sebahagian besar pemerintah daerah tidak menunjuk Pejabat Pembuat Komitmen sebagai salah satu komponen yang terlibat dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran dan kegiatan. Terdapat beberapa alasan mengapa Pejabat Pembuat Komitmen ini tidak ditunjuk/diadakan oleh pemerintah daerah, antara lain : 1. Rentang kendali kegiatan pengadaan barang dan jasa dalam lingkup pemerintah daerah, utamanya pemerintah kabupaten/kota relatif kecil, sehingga pengendalian dan jangkauan pengawasan kegiatan oleh Pengguna Anggaran (PA) yaitu Kepala SKPD tidak terlalu berat dan rumit. Berbeda jika kegiatan pengadaan barang dan jasa itu diadakan oleh Departemen atau LPND, dimana ruang lingkupnya seluruh Indonesia, dalam kondisi demikian pimpinan departemen atau LPND selaku Pengguna Anggaran tentunya perlu menunjuk Pejabat Pembuat Komitmen untuk membantunya dalam rangka pencapaian efektifitas kegiatan dikarenakan rentang kendali yang begitu luas; 2. Dengan rentang kendali kegiatan yang kecil pada skala kabupaten/kota, akan sangat riskan jika dalam lingkup pemerintah daerah ditunjuk Pejabat Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen karena akan merancukan sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pengadaan barang dan jasa, disebabkan karena tugas pokok dan fungsi Pejabat Pengguna Anggaran yang dirujuk dalam sistem pengelolaan keuangan daerah adalah yang diatur dalam Pasal 10, Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sementara tugas pokok dan fungsi Pejabat Pembuat Komitmen merujuk pada Pasal 9 ayat (3), Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Salah satu hal yang sangat krusial adalah bahwa kedua pejabat ini diberikan kewenangan oleh peraturan untuk "mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan". Pertanyaannya adalah pada saat kapan Pejabat Pembuat Komitmen (dalam kondisi pelaksanaan kegiatan pemerintah daerah) dapat menggantikan Pejabat Pengguna Anggaran untuk mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain ? Tentunya pertanyaan ini agak sukar dijawab, karena praktis Pejabat Pengguna Anggaran tetap berada dalam lingkup wilayah kerjanya. Dengan mencermati kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, maka tentunya peran instansi pengawasan vertikal (BPK dan BPKP) diharapkan perlu memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah secara lebih proporsional. Di satu sisi pemerintah daerah sudah punya komitmen moral untuk melaksanakan perbaikan terhadap sistem pengadaan barang dan jasa, akan tetapi disisi lain, berbagai peraturan yang mendukung pelaksanaan kegiatan itu, saling tidak konsisten dalam pencapaian tujuannya. |
Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!